Dalam buku tata bahasa terdapat istilah-istilah khusus bagi bentuk-bentuk pengulangan kata dalam bahasa sunda, yakni disebut dengan “kecap rajekan“. Dalam bahasa indoneia sendiri ada yang mengistilahkannya sebagai kata duplikasi, full reduplication atau perulangan kata seutuhnya, serta reduplikasi parsial atau pengulangan kata sebagian.
Namun, istilah-istilah yang lazim dipergunakan untuk kata perulangan yang digunakan dalam bahasa sunda yaitu kecap rajekan yang terdiri dari 4 jenis, yaitu: Kecap Rajekan Dwilingga (yang meliputi Dwimurni dan Dwireka), Kecap Rajekan Dwipurwa, Rajekan Dwimadya, dan Kecap Rajekan Trilingga.
Dari bentuk-bentuk pengulangan kata tersebut, ada yang ditambahkan dengan imbuhan atau rarangken dan ada juga yang tidak menggunakan. Imbuhan atau rarangken sendiri merupakan sebuah kata yang ditambahkan, entah itu diawal, diakhir, ataupun gabungan antara keduanya.
Contoh Kecap Rajekan dan Jenis-Jenisnya
1. Rajekan Dwilingga
Rajekan Dwilingga adalah bentuk kata ulang yang terjadi dari perulangan bentuk dasar seutuhnya (jadi sama dengan duplikasi kata). Kecap Rajekan Dwilingga ini dibagi menjadi dua jenis, yakni Rajekan Dwimurni dan Rajekan Dwireka.
Contoh:
Awewe-awewe (Perempuan-perempuan)
Bener-bener (Betul-betul)
- Jenis Dwimurni
Kecap rajekan dwilingga yang tidak mengalami perubahan bentuk bunyi (vokal) atau fonem, seperti pada contoh diatas disebut dengan jenis rajekan dwimurni. Berikut adalah contoh lainnya apabila kita tambahkan dengan rarangken atau dengan penambahan imbuhan, baik diawal katanya maupun dibagian akhir.
Penambahan imbuhan (di-)
Di awut-awut (Artinya: di acak acak)
Ngadago-dago (Artinya: menunggu-nunggu)
Kasabit-sabit (Artinya: teringgung-singgung)
Dengan imbuhan (di-) dan (-keun)
Diaya- aya (Artinya: diada-adakan)
Nawar-nawarkeun (Artinya: menawar nawarkan)
Dengan imbuhan (sa-) dan (-na)
Sakitu-kituna (Artinya: hanya sekian)
Sasae-saena (Artinya: sebaik-baiknya)
Dengan imbuhan (sa-) dan (-eun)
Sakali-kalieun (Artinya: barang sekali)
Saeutik-eutikeun (Artinya: sedikit sekitpun)
Dengan imbuhan (ka-)
Katambih-tambih (Artinya: bertambah-tambah)
Kateungeul-teungeul (Artinya: terpukul-pukul)
Dengan imbuhan (an-)
Ubar-ubaran (Artinya: obat obatan)
Undur-unduran (Artinya: mundur sedikit-sedikit)
Dengan imbuhan (pa-)
Pahareup-hareup (Artinya: berhadap-hadapan)
Pangeling-ngeling (Artinya: peringatan)
Dengan imbuhan (sa-)
Saimah-imah (Artinya: seisi rumah)
Sabisa-bisa (Artinya: sedapat mungkin)
- Jenis Dwireka
Jenis dwilingga yang lain adalah bentuk kata ulang yang mengalami perubahan bentuk vokal, atau mengalami perubahan bentuk bunyinya. Baik pada unsur pertama maupun pada unsur kedua. Dwilingga jenis ini disebut dengan dwireka, dan bentuk ulang dwireka hanya mempunyai satu variasi pada imbuhan atau rarangkennya, yaitu (di-) dan (ka-).
Contoh:
Buca-baca (membaca-baca)
Asal-usul (asal-muasal)
Dengan rarangken (di-) dan (ka-):
Dimurah-mareh (Artinya: dimurah murahkan)
katulap-tilep (Artinya: terlipat lipatkan)
Rajekan Dwipurwa berasal dari kata “Dwi” yang artinya dua dan “Purwa” yang artinya awal, jadi kecap rajekan Dwipurwa adalah bentuk ulang yang terjadi dari perulangan suku kata awal bentuk dasarnya. Jadi, sama halnya dengan reduplikasi kata.
Contoh:
Bubuka (pembukaan)
Susuguh (Sajian)
Bentuk ulang dwipurwa mempunyai beberapa variasi berupa komposisi serentak dengan berbagai imbuhan atau rarangken.
Contoh penambahan rarangken (-an)
Cocooan (Artinya: main mainan)
Babarengan (Artinya: selalu bersama-sama)
Dengan rarangken (eun-)
Disasaruakeun (Artinya: disamakan)
Ngadeudeukeutkeun (Artinya: mendekat-dekatkan)
Dengan rarangken (di-)
Dibobodo (Artinya: dibohongi)
Dililieur (Artinya: memperpusing diri)
Dengan rarangken (-na)
Mimindengna (Artinya: yang tersering)
Gegedena (Artinya: yang terbesar)
Dengan rarangken (-eun)
Pipilueun (Artinya: ikut-ikutan)
Uuseupeun (Artinya: sakit telan)
Dwimadya adalah bentuk ulang yang terjadi dari perulangan suku kata tengah bentuk dasarnya. Dalam buku-buku tata bahasa Sunda dan dalam buku-buku tata bahasa Indonesia serta buku-buku linguistik, bentuk ulang seperti ini belum pernah dikemukakan.
Bentuk ulang dwimadya cukup produktif dalam pembentukan kata-kata yang bentuk asalnya bersuku satu, sedangkan bentuk dasarnya berkonfiks sa-eun. Variasi lain dari bentuk ulang dwilingga ialah bentuk ulang yang bentuk dasarnya imbuhan ka- dan -an.
Kalamian → kalalamian (terlalu lama)
Kangeunahan → kangeungeunahan (keenakan)
Kaleuwihan → kaleuleuwihan (berlebih-lebihan)
Trilingga adalah bentuk ulang yang terjadi karena perulangan bentuk dasar lebih dari sekali, biasanya tiga kali. Perulangan tiga kali ini hanya berlaku pada bentuk dasar yang bersuku kata satu dan dalam proses perulangannya selalu terjadi perubahan vokal menurut pola tertentu.
Contoh:
Dor → Dar-der-dor (Bunyi senapan berkali-kali)
Trok → Trak-trek-trok (Bunyi-bunyi benda kecil beradu)
Pluk → Plak-plik-pluk (Bunyi buah berjatuhan)
Bluk → Blak-blik-bluk (bunyi orang berjatuhan)
Weh → Wah-wih-weh (Sibuk)
5) Rajekan Dwiwasana atau Dwiwekas
Dwiwasana atau dwiwekas adalah bentuk ulang yang terjadi karena perulangan suku kata akhir pada bentuk dasarnya. Istilah ini mula-mula dipergunakan dalam buku Kandaga Tata bahasa, karangan R. Momon Wirakusumah dan I. Buldan Djajawiguna (1969).
Penelitian masih meragukan adanya bentuk ulang jenis ini karena contoh-contoh yang disajikan dalam bentuk itu seperti cakakak (terbahak), cikikik (kikik) dan keweweng (lengking) bukan lagi bentuk ulang, melainkan bentuk dasar sebab tidak mengandung arti apa-apa. Sehingga, khususnya didalam pelajaran sekolah kecap rajekan yang satu ini tidak dipelajari.
Fungsi Kecap Rajekan
Kécap rajekan atau kata perulangan mempunyai dua fungsi utama, yakni fungsi gramatis dan fungsi semantis. Fungsi gramatis adalah fungsi yang bertalian dengan perubahan bentuk satuan bahasa, sedangkan fungsi semantis ialah fungsi yang bertalian dengan perubahan makna satuan bahasa.
Berdasarkan uraian singkat itu dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam proses pengulangan kata dapat menghasilkan kata-kata yang berbeda atau perubahan identitas pada kata dasarnya.