Foto: @google images |
Thanks__
sumber referensi: google.com
Terjemahan :Tarawangsa itu seperti rébab atau piul (alat jenis musik dari bambu sejenis biola). Waditra kését (sebutan untuk alat musik atau instrumen tradisional di tatar sunda yang sering dipakai dalam karawitan Sunda) yang gunanya untuk menambah tinggi rendahnya nada suatu lagu. Tarawangsa juga sama menggunakan kawat dan penggesek (seperti pada biola).
Tarawangsa dibuat dari kayu yang sekelilingnya ditutup dengan rapat. Hanya di depan, di bagian tengah, ada lubang, kira-kira ukuran 7 X 7 cm. Ada lehernya, panjangnya kira-kira 45 cm. Bedanya sama rebab, tarawangsa itu berbentuk persegi. Demikian pula penggeseknya juga berbeda.
Tarawangsa penggeseknya bukan dari senar, akan tetapi dari ijuk yang diberi pelicin oleh arpus atau kemenyan. Kesenian tarawangsa yang ada di daerah tasikmalaya berbeda dengan tarawangsa yang ada didaerah lainnya. Tarawangsa yang ada di kampung Cigelap, Cibalong, Tasikmalaya selalu dipadukan dengan waditra lainya, umumnya lagu lama (kuno) yang sudah tidak akan dikenali oleh anak-anak saat ini.
Ada lagu yang tidak boleh semaunya di nyanyikan, yakni lagu Ayun dan lagu Pangungsi. Ini lagu dianggap sakral. Diperlihatkan hanya dalam upacara tertentu, umpamanya dalam selamatan untuk penolak bahaya saat panen padi, memasukan padi, dan sebagainya. Kalau lalu-lagu yang lainya seperti kayaning Paha Konéng, Sangray Muncang, cipinang, Burung Héjo atau mulang, suka dibawakan dalam acara sunatan atau acara perkawinan.
Calungnya juga berbeda dengan calung pada umumnya. Tidak bisa di jinjing karna masangnya di ikat, berjajar, dalam rangka kayu. Supaya seperti arumba, hanya saja ini fi ikat. Di daerah lain yang seperti ini disebutnya calung rénténg (calung seuntai, serangkai).
Dari keterangan sesepuh di Cigelap, kesenian tarawangsa ini sudah dikenali sudah lama sekali. Ada yang menyebutkan kira-kira dari abad ke-12. Bahasa yang digunakan dalam nyanyiannya juga soalnya menggunakan bahasa Sunda kuno.
Sekalipun termasuk kesenian kuno, calung Tarawangsa dari Cigelap masih hidup hingga saat ini. Masih ada yang selalu menanggap di kampung-kampung disekitar Tasik. Dalam tahun 60-an hingga sampai ke 70-an, kesenian ini sangat disenangi oleh masarakat.
Artikel Terkait :