Maca carita pantun “mundinglaya dikusumah”

Prabu Siliwangi menjadi raja di Pajajaran. Ia memiliki dua orang patih bernama Kidang Pananjung dan Gelap Nyawang yang berperawakan tinggi besar dan sakti. Pada suatu waktu, Prabu Siliwangi pergi bertapa ke Gunung Hambalang karena ingin mendapat putra dan istri untuk dijadikan prameswari, yaitu Nyi Padmawati, putri Pohaci Wirumananggay dari Kahyangan. Pada waktu Padmawati mengandung, ia menginginkan honje. Lalu raja menyuruh Lengser mencarinya ke Negara Kuta Pandek di Muara Beres. Dari Geger Malela, putra Rangga Malela di Muara Beres didapatkannya honje delapan pasak yang ditukarnya dengan uang delapan keton.

Ketika itu, di Muara Beres Nyi Gambir Wangi pun tengah mengidam, sama menginginkan honje, tetapi honje sudah dijual kepada utusan Ratu Pajajaran. Lengser Muara Beres disuruh untuk mengembalikan uang empat keton, yang akan ditukar dengan honje empat pasak. Lengser Pajajaran menolaknya. Akhirnya kedua Lengser tersebut berperang memperebutkan honje. Tak ada yang kalah, kemudian mereka dilerei oleh Gajah Siluman. Honje akhirnya dibagi dua dengan perjanjian bahwa kedua bayi itu setelah dewasa harus dikawinkan.

Nyi Gambir Wangi menginginkan terung pait yang ingin dimakannya berbagi dengan Padmawati. Terung itu dibelah oleh Patih Gelap Nyawang, sesudah itu Raja bersabda kepada seluruh rakyat bahwa bayi yang masih dalam kandungan itu sudah dijodohkan. Nyi Padmawati dari Gunung Gumuruh melahirkan seorang putra laki-laki yang diberi nama Mundinglaya di Kusumah, sedangkan Nyi Gambir Wangi melahirkan seorang perempuan yang diberi nama Dewi Asri.

Prabu Guru Gantangan dari Negeri Kuta Barang sebagai ua Mundinglaya mengangkatnya sebagai putra, dengan alasan untuk dididik kesaktian. Mundinglaya menjadi sakti dan membuat takut Guru Gantangan bahwa kekuasaannya akan Racikan Sastra 46 direbut oleh Mundinglaya. Oleh sebab itu, Mundinglaya dimasukkan ke dalam penjara besi kemudian ditenggelamkan ke dalam Leuwi Sipatahunan. Paman Mundinglaya, yaitu Jaksa Seda Kawasa, Aria Patih Sagara, Gelap Nyawang dan Kidang Pananjung berpirasat jelek terhadap Mundinglaya. Kemudian menyusulnya ke Kuta Barang dan memarahi Prabu Guru Gantangan.

Akan tetapi, Mundinglaya dibiarkannya sebagai suatu ujian keprihatinan. Hal itu tidak dikabarkan kepada ibu dan ayahandanya di Pajajaran. Pohaci Wiru Mananggai mengirimkan impian kepada Padmawati bahwa dia harus mendapat lalayang kencana milik Guriang Tujuh di Sorong Kencana. Padmawati menyampaikan mimpi itu kepada raja. Waktu disayembarakan kepada putra dan para ponggawa tidak ada yang sanggup mencarinya. Oleh karena itu, Padmawati yang memimpikannya harus membuktikannya sendiri. Kalau tidak akan dipenggal kepalanya.

Nyi Padmawati teringat kepada putranya Mundinglaya, lalu menyuruh Gelap Nyawang dan Kidang Pananjung untuk menjemputnya di Kuta Barang. Mundinglaya diambil dari Leuwi Sipatahunan lalu dibawa ke Pajajaran. Mundinglaya menyanggupi untuk mendapatkan Layang Kencana. Kemudian ia berangkat diantar oleh Patih Jaksa Seda Kawasa, Gelap Nyawang, Kidang Pananjung, Patih Ratna Jaya, dan Liman Sanjaya, dari Gunung Gumuruh beserta Lengsernya. Dengan perahu kencana ciptaan Kidang Pananjung mereka berlayar melalui Leuwi Sipatahunan dan Bengawan Cihaliwung. Sampailah di Muara Beres, lalu Mundinglaya menemui tunangannya Dewi Asri.

Kemudian Mundinglaya meneruskan perjalannya. Di Sanghyang Cadas Patenggang semua pengantarnya ditinggalkan di dalam perahu. Di dalam perjalanan, di sebuah hutan belantara, Mundinglaya bertemu dengan Yaksa Mayuta. Dia dikunyah, lalu ditelan raksasa itu. Setelah mengambil azimat raksasa di langitlangit mulutnya, yang kemudian ditelannya, Mundinglaya bertambah sakti. Kemudian Yaksa Mayuta dapat dikalahkannya. Mundinglaya meneruskan perjalanannya ke langit, menemui neneknya di Kahiyangan untuk meminta Lalayang Kencana yang diimpikan ibunya. Oleh neneknya, Wiru Manunggay, Mundinglaya diperintahkan menjadi angin supaya dapat menerbangkan Lalayang Kencana.

Angin puting beliung Racikan Sastra 47 menerbangkan Lalayang Kencana, lalau disusul oleh Guriang Tujuh. Guriang Tujuh perang dengan Mundinglaya sampai meninggal oleh keris mereka. Sukma Mundinglaya keluar dari jasadnya, lalu mengisap sambil mementerakan supaya hidup kembali. Prabu Guru Gantangan di Negara Kuta Barang, mempunyai putra-putra angkat, seperti Sunten Jaya, Demang Rangga Kasonten, Aria Disonten dan Dewi Aria Kancana. Sunten Jaya diperintahkan ayah angkatnya melamar Dewi Asri karena mendengar bahwa Mundinglaya sudah meninggal oleh Guriang Tujuh. Sunten Jaya yang angkuh dan buruk perangainya bersaudara angkatnya pergi ke Muara Beres meminang Dewi Asri kepada kakaknya, raden Geger Malela. Dewi Asri menolak lamaran Sunten Jaya karena sudah dipertunangkan dengan Mundinglaya.

Akan tetapi karena dipaksa, ia menerima pinangan itu dengan sarat bahwa Sunten Jaya harus memenuhi permintanyaannya, yaitu sebuah negara dengan segala isinya. Sunten Jaya marah karena tidak mungkin permintaan itu dapat dipenuhinya. Namun permintaan itu disanggupi oleh Prabu Guru Gantangan. Dewi Asri yang dipaksa menikah dengan Sunten Jaya membuat bermacam ulah dengan tujuan agar pernikahan batal. Mundinglaya yang sudah hidup kembali dan sedang bertapa mendapat pirasat buruk, ia bermimpi kepalanya diserang topan, tiangnya patah, kapal pun pecah dan karam di laut. Dia ingat kepada tunangannya. Waktu dilihatnya tabir mimpi tersebut, tampak olehnya bahwa Dewi asri sedang dinikahkan dengan Sunten Jaya. Mundinglaya berpamit kepada neneknya. Sudah dihadiahi buli-buli berisi air cikahuripan dan keris pusaka,

Mundinglaya turun dari Jabaning Langit membawa Lalayang Kencana disertai Munding Sangkala Wisesa jelmaan Guriang Tujuh. Setibanya di Sanghyang cadas Patenggang dijemputnya pamannya yang ada di dalam perahu. Selanjutnya Kidang Pananjung memantrai Sangkala Wisesa sehingga tidur lelap. Dewi Asri mendapat firasat, lalu dia menciptakan bantal guling menjadi dirinya kemudian ia mandi di sungai dan bertemulah dengan Mundinglaya. Dewi Asri pergi bersama Mundinglaya berlayar naik perahu kencana. Munding Sangkala Wisesa dibangunkan dari tidurnya, kemudian disuruh pergi ke Muara Beres untuk mengamuk seluruh prajurit, Patih Halang Barang dan Prabu Guru Gantangan.

Kepada Raden Geger Malaka, Sangkala Wisesa mengatakan bahwa ia sedang mencari saudaranya Mundinglaya. Oleh Geger Malela diterima lalu dibawa ke dalam keraton. Mundinglaya dan Dewi Asri pergi bersama-sama ke Muara Beres mengadakan perarakan. Setibanya di keraton, kemudian mereka naik ke papanggungan kancana dan bersantap bersama. Sunten Jaya akhirnya mengetahui bahwa ia ditipu lalu ia naik ke papanggungan untuk memerangi Mundinglaya. Namun terkena mantra Mundinglaya, ia menjadi tak berdaya. Dewi Asri dan Mundinglaya lalu menikah. Sementara itu, Jaksa Pajajaran, Demang Patih Rangga Gading, Paman Murugul Matri Agung dan Purwakalih datang ke Muara Beres menilah yang menikah dan akan melerai pertengkaran. Sunten Jaya datang meminta kembali meminta harta bendanya yang sejumlah 25 kapal.

Rangga Gading bertanya, siap yang mula-mula melamar Dewi Asri? Rakyat Kuta Barang semua memihak kepada Sunten Jaya karena Sunten Jayalah yang lebih dahulu melamar. Tetapi Patih Gajah Siluman dari Karang Siluman menyuruh Lengser Pajajaran menceritakan asal mula hubungan kedua putra-putri itu. Akhirnya mereka mengetahui bahwa Mundinglaya dan Dewi Asri sudah dijodohkan sedang dikandung. Sunten Jaya harus mengalah tetapi dia marah dan menantang perang kepada Mundinglaya. Namun Sunten Jaya dan pasukannya dikalahkan oleh Munding Sangkala Wisesa. Mundinglaya berbahagia menjadi pengantin baru yang kaya raya. Dia diangkat menjadi raja muda yang berpermaisurikan Dewi Asri dan Ante Kancana, adik Sunten Jaya.

Sumber: (Dari Struktur Cerita Pantun Sunda: Alur karya Tini Kartini, dkk.)