6 Jenis Aksara Yang Digunakan Orang Sunda Dulu Hingga Sekarang

Berdasarkan dari bukti-bukti tertulis dan prasasti yang pernah diketemukan di daerah kebudayaan sunda, sedikitnya terdapat beberapa jenis model aksara sunda yang pernah digunakan oleh masyarakat sunda di jawa barat pada jaman dahulu, aksara-aksara tersebut adalah:

  1. Aksara Pallawa (Pra-Nagari)
  2. Aksara Jawa Kuno
  3. Aksara Sunda Kuno
  4. Aksara Pegon (Arab)
  5. Aksara Cacarakan
  6. Aksara Latin

Demikian pula dari bahasa yang digunakan oleh masyarakat sunda dahulu ada beberapa macam seperti Bahasa Sangsekerta, Bahasa sunda (kuno dan baru), Bahasa Jawa (kuno, cirebon, banten, dan priangan), Bahasa Melayu, Bahasa Arab, dan Bahasa Belanda.

1. Aksara Pallawa (Pra-Nagari)

Aksara Pallawa (Pranagari)

Para ahli paleografi umumnya berpendapat bahwa aksara atau lulisan yang digunakan yang berkembang diwilayah nusantara termasuk juga yang ada di jawa barat bahkan di Semenanjung, Malaya, Muangthai Selatan, Kamboja, dan Vietnam Selatan, secara tipologis dapat dilacak awal mulanya dari aksara prasasti raja-raja dinasti pallawa di India selatan pada abad ke-4 yang berbahasa Sangsekerta.

Pada dasarnya pengaruh aksara-aksara tersebut dapat dibedakan ke dalam tiga tipe utama, yang diantaranya yaitu:

1. Early Pallawa (Palawa Awal) yang mengacu pada model calukya dan wenggi.
2. Later Pallawa (Palawa Lanjut) yang mengacu kepada model Pali (Ava dan Siam) dan model Kamboja.
3. Pra-Nagari yang mengacu kepada model Dewa Nagari dan Nepal.

Aksara tipe Pallawa Awal yang ditemukan di jawa barat (tatar pasundan) digunakan dalam prasasti zaman Tarumanegara, seperti pada Prasasti Kebon kopi, Ciaruteun, Jambu, dan Tugu. Sedangkan Aksara tipe Palawa Lanjut digunakan dalam prasasti antara abad ke-6 hingga ke-8, antara lain terlihat pada prasasti Tuk Mas dan Prasasti Canggal yang diketahui merupakan teks terakhir yang ditulis dengan aksara palawa di indonesia dan berasal dari jawa tengah.

Baca juga: Contoh Kalimat Aksara Sunda beserta Artinya

Dijawa barat sendiri ditemukan sebuah prasasti yang berbahasa Melayu Kuno, tepatnya di daerah Ciampea, Bogor yang tidak jauh dari tempat penemuan prasasti Kebon kopi I sehingga prasasti ini disebut dengan prasasti Kebon kopi II.

Prasasti batutulis Ciampea, Bogor
Sumber @cimangguBogor

Sedangkan untuk aksara tipe Pra-Nagari yang ada didaerah jawa barat mengacu kepada model Naskah-naskah yang berlatar keagamaan Budha pada abad ke-16, antara lain naskah Sang Hyang Hayu dan Kunyjarakarna dalam bahasa Jawa Kuno, sementara yang berbahasa sunda kuno adalah naskah Sang Hyang Raga Dewata.

2. Aksara Jawa Kuno

Aksara Jawa Kuno
@Republika

Aksara Jawa Kuno pada dasarnya merupakan perkembangan dari aksara tipe Palawa Lanjut yang mengacu kepada model aksara Pali yang berkembang sejak pertengahan abad ke-8 hingga abad ke-13 dan banyak ditemukan sebagai tulisan pada prasasti di Jawa Timur, seperti pada prasasti Dinoyo dan Prasasti Sukabumi dekat Kediri yang sekaligus dipandang sebagai prasasti pertama yang menggunakan bahasa Jawa Kuno.

Aksara Jawa Kuno digunakan juga di Jawa Barat seperti pada Prasasti Sanghyang Tapak, teks prasasti ini berbahasa Jawa Kuno dan dipahatkan pada empat buah batu (Kode: D.73, D.96, D.97, dan D.98) yang ditemukan dari aliran Sungai Cicatih dan Bukit Pangcalikan, Kecamatan Cibadak, Kabupaten Sukabumi.

Aksara Jawa Kuno yang digunakan juga di Jawa Barat Tulisan Aksara Jawa Pada Prasasti Sanghyang Tapak

Selain itu ada Prasasti Batutulis di Bogor dan Prasasti Hulu dayeuh di Cirebon yang ditulis menggunakan Bahasa Sunda, Prasasti Kebon kopi II yang berbahasa Melayu Kuno, dan prasasti Mandiwunga yang berbahasa Jawa Kuno ditulis dengan menggunakan aksara Jawa Kuno. Jadi, penggunaan jenis aksara ini di Jawa Barat tidak banyak dan bentuk aksaranya diambil sepenuhnya dari hasil kreasi masyarakat Jawa.

Prasasti Batutulis di Bogor dan Prasasti Hulu dayeuh ditulis menggunakan Bahasa Sunda
Batutulis

3. Aksara Sunda Kuno

Aksara Sunda Kuno

Aksara sunda kuno pada awalnya merupakan perkembangan dari Aksara tipe Palawa Lanjut yang mengacu kepada model aksara Kamboja dengan beberapa ciri yang masih melekat dari pengaruh tipe aksara prasasti-prasasti pada jaman Tarumanegara, sebelum mencapai taraf modifikasi bentuk khasnya seperti yang digunakan dalam naskah lontar abad ke-16.

Dalam hal ini, model aksara yang digunakan dalam prasasti-prasasti dan piagam di jaman Kerajaan Sunda, baik dari periode Kawali maupun periode Pakuan Pajajaran dapat memberi gambaran mengenai tipologis aksara Sunda Kuno paling awal tersebut. Prasasti-prasasti yang dimaksud adalah prasasti yang terdapat di kompleks Kabuyutan Astana gede, Kecamatan Kawali, Kabupaten Ciamis, prasasti Kebantenan yang ditemukan di daerah Bekasi, prasasti Galuh yang ditemukan di daerah Ciamis.


Bagian terbesar aksara Sunda Kuno merupakan hasil daya Cipta atau hasil kreasi orang Sunda. Urutan abjad aksara Sunda Kuno berbunyi (kaganga cajanya tadana pabama yarala wasaha), Jadi ada 18 buah huruf inti. Urutan abjad demikian sama dengan urutan abjad aksara Kaganga di wilayah Bengkulu dan Lampung. Memang di tanah air kita Indonesia, ada 7 jenis aksara yang bersumber sama dengan aksara Sunda Kuno, yaitu aksara Batak, Kaganga, Sunda Kuno, Jawa, Bali, Sasak, dan Bugis.

Baca juga: 50 Kaligrafi Aksara Sunda Cantik, Karya Siswi Pilihan!

Model aksara Sunda Kuno itu sangat menarik jika dibandingkan dengan model aksara Kamboja Kuno yang tergolong ke dalam aksara tipe Pallawa Lanjut dan melalui naskah-naskah lontar abad ke-16 yang ditemukan di berbagai daerah di Jawa Barat, kita dapat memperhatikan model aksara Sunda Kuno itu telah mencapai taraf modifikasi yang cukup mantap.

Dengan demikian, bentuk jenis aksara ini memperlihatkan tingkat kreatifitas atau daya cipta orang Sunda yang sangat tinggi. Pada masa itu pemakaiannya cukup lama karena masih digunakan hingga pertengahan abad ke-18. Dilihat dari segi bentuk dan urutan abjadnya jika dibandingkan dengan bentuk jenis aksara lain yang lebih tua usianya tampak bahwa jenis aksara ini bagian terbesarnya merupakan ciptaan atau kreasi orang Sunda sendiri.

4. Aksara Pegon

Jenis Aksara pegon

Aksara Pegon adalah aksara Arab yang digunakan untuk menulis teks berbahasa Sunda dan juga bahasa Jawa. Jadi sudah tentu penggunaannya lebih dahulu diadakan penyesuaian dengan tatafonem kedua bahasa tersebut. Berdasarkan katalog naskah Sunda diperoleh gambaran bahwa Naskah Sunda yang menggunakan Aksara Arab atau Aksara Pegon jauh lebih banyak, jika dibandingkan dengan naskah-naskah Sunda yang menggunakan jenis aksara yang lainnya.

Perkiraan digunakannya aksara Arab untuk menuliskan naskah-naskah Sunda sesudah agama Islam menjadi anutan masyarakat di wilayah Sunda, mengingat Islam sangat konsisten memelihara kitab suci Al-Our’an yang ditulis dengan aksara Arab. Sejak itulah masyarakat sunda mengenal dan mempelajari serta mengembangkan keterampilan dalam menulis aksara Arab atau aksara Pegon.

Umumnya, aksara pegon dalam khazanah naskah Sunda memakai tanda vokalisasi, baik yang menggunakan bahasa Sunda maupun bahasa Jawa. Jika ada naskah Sunda yang ber-aksara Pegon dan atau bahasa Arab tanpa tanda vokalisasi, maka aksaranya disebut aksara Gundil atau aksara Arab-Gundul.

Dari segi bentuk, aksara Pegon sama saja dengan aksara Arab, tambahannya hanya berupa lambang-konsonan g, c, ng, ny, dan penanda vokal e dan eu yang merupakan kreasi dari orang Sunda.

5. Aksara Cacarakan (Sunda-Jawa)

Aksara Cacarakan

Aksara Cacarakan sebenarnya merupakan aksara yang diadopsi masyarakat Sunda dari aksara Jawa Modern yang biasa disebut Carakan berdasarkan urutan abjad aksara “ha-na-ca-ra-ka-da-dst“. Istilah cacarakan itu sendiri apabila dilihat dari sudut tata bahasa Sunda merupakan kata bentukan yang berdasarkan proses reduplikasi dengan dwipurwa yang ditambah akhiran -an. Proses dwipurwa dapat menimbulkan tiga pengertian, yaitu:

(1) Menunjukkan “Saling” (Misalnya sasalaman, yang artinya saling bersalaman).

(2) Menunjukkan “Intensitas” (Misalnya leuleumpangan, yang artinya berjalan terus-menerus).

(3) Menunjukkan “Peniruan” (Misalnya gugunungan, yang artinya dibentuk seperti gunung.

Dalam hal ini, istilah cacarakan dapat dianalogikan kepada pengertian dwipurwa yang ke-3, yaitu dibuat meniru-niru (carakan). Adapun naskah-naskah Sunda yang ditulis dengan aksara Cacarakan isinya sebagian merupakan hasil saduran baik berasal dari naskah yang telah lebih dulu ada, maupun dari naskah-naskah kelompok etnik lain di nusantara, bahkan beberapa diantaranya berasal dari bangsa-bangsa lain.

Keadaan ini bisa disaksikan pada naskah-naskah dari sekitar pertengahan abad ke-19. Pada masa itu, naskah-naskah Sunda banyak yang ditulis dengan menggunakan aksara Pegon. Pada masa itu, naskah-naskah Sunda dapat dibedakan antara naskah yang dihasilkan oleh para penulis keluaran sekolah (pemerintah) dan naskah yang ditulis oleh kalangan pesantren.

“Naskah yang ditulis dengan aksara Pegon hampir dapat dipastikan muncul dari kalangan pesantren, sedangkan naskah yang ditulis dengan aksara Cacarakan muncul dari kalangan “menak” terpelajar.

Dalam perkembangan selanjutnya, aksara Cacarakan digunakan dalam surat-menyurat administrasi pemerintahan. Hal ini antara lain dapat dilihat dalam surat-surat kepemilikan suatu lahan yang dikeluarkan sekitar awal abad ke-20. Meskipun pemakaian jenis aksara ini cukup meluas, namun dari segi bentuk aksara Cacarakan itu sama dengan aksara Carakan, jadi hasil kreasi orang Sunda sendiri sedikit sekali, hanyalah berupa pengurangan 2 lambang konsonan (dh, th) dan penambahan lambang penanda bunyi (eu).

6. Jenis Aksara Latin

Jenis Aksara Latin

Keberadaan aksara Latin di masyarakat Nusantara awal mulanya merupakan akibat terjadinya kontak dengan bangsa-bangsa Eropa sejak awal abad ke-16, terutama dengan bangsa Belanda. Sejak itu, aksara Latin mulai menampakkan diri dalam pergaulan dengan lingkungan kebudayaan yang ada, tetapi ruang lingkupnya masih terbatas pada kelompok bangsa pendatang.

Pada abad berikutnya, aksara Latin mulai dikenal oleh sebagian kecil masyarakat pribumi, hal ini terbukti antara lain dengan adanya arsip Piagam Perjanjian antara Susuhunan Pakubuwana I dengan Gubernur Jenderal Kompeni Belanda tertanggal 5 Oktober 1706 yang menggunakan aksara Latin dan berdampingan dengan aksara Carakan.

Di Jawa Barat sendiri hal serupa dapat ditemukan antara lain dalam Surat Keputusan tertanggal 3 November 1705 dan 9 Pebruari 1706 yang dikeluarkan oleh Kompeni Belanda bersama para penguasa di wilayah Cirebon. Aksara Latin dipakai berdampingan dengan aksara Arab Gundul bersama aksara Cacarakan.

Pada akhir abad ke-19 hingga bagian awal abad ke-20, pengaruh aksara Latin semakin kuat dengan diajarkannya di sekolah-sekolah guna pengajaran bagi anak-anak pribumi, terutama pada sekolah pendidikan guru. Kemudian berdiri pula sebuah “Commisi voor de Volkslectuur” (Komisi Bacaan Rakyat) yang akhirnya berubah menjadi “Balai Pustaka” hingga saat ini.

Sejak itu diterbitkan buku-buku yang menggunakan aksara Latin dalam beberapa bahasa daerah. Buku-buku tersebut bukan hanya berupa karya sastra, tetapi berkaitan pula dengan pengetahuan tentang pertanian. peternakan, kesehatan, arsitektur, ekonomi, dan lain sebagainya.

“Buku yang terbit dalam aksara Latin berbahasa Sunda antara lain Piwoelang Miara Hajam, Mitra Noe Tani, Elmoe Kabeungharan, Miara Embe, Oebar Kampoeng, Kadaharan Noe Beunang Dililakeun, Miara Mouedjaer, yang para penulisnya sebagian besar dari kalangan guru.”

Aksara Latin ini dapat dikatakan sepenuhnya merupakan ciptaan orang lain, orang Sunda tinggal menggunakannya. Kini pemakaian jenis aksara ini meluas ke seluruh lapisan masyarakat dan seluruh kehidupan manusia, serta seluruh bahasa di kawasan tanah air kita dan seluruh penjuru dunia hingga sekarang.

Kesimpulan

Berdasarkan data sejarah di Jawa Barat telah digunakan jenis-jenis aksara yaitu  Palawa/Pra-Nagari, Sunda Kuno, Jawa (Carakan), Pegon, Cacarakan, dan Latin. Keenam aksara tersebut dipakai sejak abad ke-5 Masehi hingga sekarang. Sehingga kiteria yang harus digunakan untuk menentukan jenis aksara yang disebut aksara Sunda apabila ditinjau dari sudut bentuk aksara, maka aksara yang sesuai adalah jenis aksara yang dipakai sejak abad ke-14 hingga abad ke-18 yang disebut Aksara Sunda Kuno.

Sejak sekarang jenis aksara tersebut dinamai Aksara Sunda (tanpa tambahan kata Kuno). Selanjutnya keberadaan dan fungsi aksara Sunda dalam kehidupan sosial budaya masyarakat Jawa Barat umumnya masyarakat Sunda, Sekarang ini dan untuk masa mendatang ditetapkan dan disyahkan oleh Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jawa Barat No. 434/SK.614-Dis.PK/99 tanggal 16 Juni 1999 tentang Pembakuan Aksara Sunda.

Baca juga: √ Wujud Aksara Sunda Dasar dan Aksara Baku

@ Referensi :

Pojok Jawabarat Deposit, Tedi Permadi, Edi S. Ekadjati, Undang A. Darsa dan Idin Baidillah